Ramai, padat,
macat, itulah Jakarta yang kita tahu dari pemberitaan TV, ineternet dan
media lainnya. Terik matahari menyengat, asap dan debu menyatu menyelimuti tubuh
yang kering dan berpeluh. Setiap orang sibuk dengan urusan pribadi.
Abang angkot berteriak angkot…angkot…angkot…senin…senin…Tanah Abang…tanah Abang…Abang Bajai…bajai…bajai…bajai…Abang
Bakso…bakso…bakso…bakso…dan
begitu seterusnya. Pemandangan yang jarang ditemuakan di kota-kota lain
Banyak orang
mangadu nasip di kota metropolotan ini dengan harapan agar mendapat hidup lebih baik, tetapi sebaliknay,
tidak sedikit yang tak sesuai harapan. Banyak yang terpenjara dengan budaya dan
lingkungan yang keras, individualis, dan hedonis karena sebagian besar
masyarakat Jakarta sudah terframe oleh dogma-dogma moderenitas. Bagi setiap
orang yang tidak mempunyai prinsip dan tidak memegang prinsip, Jakarta menjadi
petaka.
Tidaaaa…aaa…aaa…aaak…!!!!
Saya berteriak kencang dalam hati, karena bayangan itu terpampang di hadapan
saya. Ya, saya ke Jakarta, ini adalah angan-anagan yang menjadi fakta, Allah memberi
saya kesempatan untuk mengenal Jakarta lebih dari yang saya ketahui selama ini.
Bayangan itu muncul ketika saya berada di dalam kereta api yang melaju dari
Madiun menuju Pasar Senin.
Tepatnya Bulan Januari tahun 2013 angan-angan itu menjelma menjadi
fakta, saya berniat untuk bersilaturrahmi ke rumah paman yang ada di Ciputat,
Tanggerang, Bnten, tetapi sebelum ke
tujuan awal, seorang teman menawarkan kerumahnya yaitu di daerah Rangkas
Bitung, Tangerang. Katanya daerah ini adalah tempat tinggal orang pedalaman
banten (Baca : Badui). tawaran saya terima, hitung-hitung
menambah wawasan kenasionalan. Saya berangkat ke Banten bertiga : saya sendiri,
Dargo dan Luki. Luki adalah teman yang mengajak kami untuk kerumahnya, ia
adalah Gus atau anak seorang kiyai. Bapaknya adalah seorang pengasuh
pesantren.
Kami berangkat
menggunakan kereta api dari stasiun Madiun, perjalanan cukup panjang dan lama,
kata teman kami Luki, pagi insya Allah sampai, tetapai siang baru saya sampai, ternyata
malam hari, kereta mengalami sedikit gangguan dan itu saya enggak sadar (terhanyut
dalam mimpi indah).
Akhirnya kami
sampai stasiun pasar senin, kurang lebih pukul 11.00 yang merupakan tempat pemberhentin
terakhir kereta yang kami kendarai. Untuk menuju ke Rangkas Bitung, Kami
harus menuju ke Stasiun Tanah Aang. Terlintas dalam benak saya bahwa Tanah
Abang, tempatnya pencuri penyamun, pencopot pemalak dan sejenisnya seperti yang
diceritakan Gus Dur. Yah…Bismillah…dengan langkah mantab saya berjalan. Untuk menuju
Tanah Abang kami harus mencari Mini Bus.
Susahnya
mencari mini bus bak mencari
paku di toko di warung nasi, kami sempat berpikir untuk menaiki bajai, walaupun suaranya sangant bising yang
penting sampai tujuan. Gambaran yang pernah saya bayangkan
ternyata benar adanya, bahkan lebih dari yang saya bayangkan. Setelah melihat
langsung kota Jakarta, saya langsung memutuskan untuk tidak akan pernah punya
mimpi tinggal di Jakarta.
Sambil berjalan santai menikmati panasnya Jakarta saya dan Dargo berpose di depan patung yang sebenarnya bukan patung wah.
Orang-orang memandang kami dengan pandangan penuh keheranan, terserah orang-orang
mau berpikiran apa tentang kami, yang penting ceprat-ceoret tetap eksis.
Dari
penampilan, kami necis, keren, enggak ndeso atau kampungan, apalagi saya,
penampilan saya membuat orang berpikiran
bahwa saya seorang guru atau PNS, ketika itu kami di dalam kereta api, Dargo
ditanya oleh seorang penumpang,” temanmu itu guru ya ?” hehehe…kerenkan ?. saya mengenakan kaos abu
berlapis jaket, celana kain berwarna abu gelap, dan sepatu pantoprl hitam, saya
kira ini yang membuat orang berpikiran bahwa saya ini adalah seorang guru.
Setelah lama berjalan sambil ceprat-cepret, bus yang kami cari datang
dengan sendirinya. Ternyata Allah berbaik hati kepada kami. Bus tidak berhenti,
tetapi berjalan dengan kecepatan tidak terlalu tinggi, dengan senang hati kami sedikit
berlari dan melompat naik ke dalam bus.
Ya Rab...pemandangan yang asing, selama saya menggunakan bus, baru kali ini
menemukan suasana dan pemandangan yang seperti ini. Padat, berantakan, panas,
ribut. Ibu-ibu bapak-bapak berjubel, kamipun tidak mendapatkan tempat duduk,
dengan terpaksa kam berdiri. Biasanya kami mendengar kata-kata mas, sekarang
berubah menjadi abang. Bang-bang...terdengar suara dari dekat saya, setelah
menoleh ternya seorang kernet kecil meminta ongkos, saya perkirakan umurnya baru
sebelas atau dua belas tahun. Berpakaian kumuh, berkulit hitam berambut pendek
bernada tinggi kalau berbicara, membawa lembaran-lembaran rupiah. Ongkospun
kuberikan.
Saya membawa satu ransel dan tas pinggang kecil. Ransel, saya minta dargo
menaruhnya mepet dengan body bus dan menjepit degnan tubuhnya. Tas pinggang
saya tarus di sebelah kiri. “Dek hati-hati barangnya” terdengan suara seorang ibu memperingati
kami. Saya menoleh dan memberikan senyuman simple sebagai tanda meng-iyakan
peringatannya.
Tiba-tiba datang seoarang berperawakan tinggi, kurus, rambut keriting,
dekil, tampang seram dan prihatin jika melihatnya. Berdiri di belakang saya. Eh...bang,
muncul dari mana makhluk seperti anda ?, saya berkata langsung di hadapanya,
tetapi ia tidak mendengarkan perkataan saya, karena saya berkata di dalam
hati. Saya pun mulai curiga,
bayangan-bayangan itu datang menghampiri saya lagi, saya mencoba menghilangkan
bayang-bayang itu dengan mengalihkan pikiran.
Beberapa menit berlalu, saya melihat tas pinggang yang saya bawa dalam
keadaaan sedikit terbuka, tetapi saya tetap membiarkannya tanpa menutupnay
sedikitpun. Bus tetap melaju, sesekali berhenti untuk menaikan penumpang.
Perjalanan saya nikmati walaupun ada sedikit gangguan. Perasaan saya mulai
enggak enak sepertinya ada sesuatu yang terjadi, satu
persatu saya pandangi
dengan pandangan penuh curiga, setelah sekian lama saya mencari dan setelah
saya melihat kesekeliling. Ternayata saya menemukan jawaban atas perasaan saya
yang enggak enak.
Tas, tas pinggang saya terbuka lebar, ini pasti perbuatan orang yang tadi,
tetapi saya berbahagia sekali bahkan sangat-sangat bahagia, pencopet itu
berhasil saya tipu. Ketika pencopet itu membuka tas pinggang saya, ia disambut
oleh SIKAT GIGI. Seketika itu sayapun tersenyum lebar.
Segala
sesuatu sudah saya siapkan dari sebelum pemberangaktan, pakain uang, dompet dan
semua yang saya anggap berharga saya taruh di ransel, sedangkan isi dari tas
pinggang adalah peralatan mandi, jadi pencopet itu hanya menemikan sabun, odol
dan sikat gigi. Heheh...kasihan dech loe...