Senin, 08 Desember 2014

Pencopet yang ku Tipu (Cerita ini bukan fiktif belaka, tetapi ini kisah nyata apa adanya, ditulis sambil tertawa)

Ramai, padat, macat, itulah Jakarta yang kita tahu dari pemberitaan TV, ineternet dan media lainnya. Terik matahari menyengat, asap dan debu menyatu menyelimuti tubuh yang kering dan berpeluh. Setiap orang sibuk dengan urusan pribadi. Abang angkot berteriak angkot…angkot…angkot…senin…senin…Tanah Abang…tanah Abang…Abang Bajai…bajai…bajai…bajai…Abang Bakso…bakso…bakso…bakso…dan begitu seterusnya. Pemandangan yang jarang ditemuakan di kota-kota lain
Banyak orang mangadu nasip di kota metropolotan ini dengan harapan agar mendapat hidup lebih baik, tetapi sebaliknay, tidak sedikit yang tak sesuai harapan. Banyak yang terpenjara dengan budaya dan lingkungan yang keras, individualis, dan hedonis karena sebagian besar masyarakat Jakarta sudah terframe oleh dogma-dogma moderenitas. Bagi setiap orang yang tidak mempunyai prinsip dan tidak memegang prinsip, Jakarta menjadi petaka.
Tidaaaa…aaa…aaa…aaak…!!!! Saya berteriak kencang dalam hati,  karena bayangan itu terpampang di hadapan saya. Ya, saya ke Jakarta, ini adalah angan-anagan yang menjadi fakta, Allah memberi saya kesempatan untuk mengenal Jakarta lebih dari yang saya ketahui selama ini. Bayangan itu muncul ketika saya berada di dalam kereta api yang melaju dari Madiun menuju Pasar Senin. 
Tepatnya Bulan Januari tahun 2013 angan-angan itu menjelma menjadi fakta, saya berniat untuk bersilaturrahmi ke rumah paman yang ada di Ciputat, Tanggerang,  Bnten, tetapi sebelum ke tujuan awal, seorang teman menawarkan kerumahnya yaitu di daerah Rangkas Bitung, Tangerang. Katanya daerah ini adalah tempat tinggal orang pedalaman banten (Baca : Badui). tawaran saya terima, hitung-hitung menambah wawasan kenasionalan. Saya berangkat ke Banten bertiga : saya sendiri, Dargo dan Luki. Luki adalah teman yang mengajak kami untuk kerumahnya, ia adalah Gus atau anak seorang kiyai. Bapaknya adalah seorang pengasuh pesantren.
Kami berangkat menggunakan kereta api dari stasiun Madiun, perjalanan cukup panjang dan lama, kata teman kami Luki, pagi insya Allah sampai, tetapai siang baru saya sampai, ternyata malam hari, kereta mengalami sedikit gangguan dan itu saya enggak sadar (terhanyut dalam mimpi indah).
Akhirnya kami sampai stasiun  pasar senin, kurang lebih pukul 11.00 yang merupakan tempat pemberhentin terakhir kereta yang kami kendarai. Untuk menuju ke Rangkas Bitung, Kami harus menuju ke Stasiun Tanah Aang. Terlintas dalam benak saya bahwa Tanah Abang, tempatnya pencuri penyamun, pencopot pemalak dan sejenisnya seperti yang diceritakan Gus Dur. Yah…Bismillah…dengan langkah mantab saya berjalan. Untuk menuju Tanah Abang kami harus mencari Mini Bus.
Susahnya mencari mini bus bak mencari paku di toko di warung nasi, kami sempat berpikir untuk menaiki bajai, walaupun suaranya sangant bising yang penting sampai tujuan. Gambaran yang pernah saya bayangkan ternyata benar adanya, bahkan lebih dari yang saya bayangkan. Setelah melihat langsung kota Jakarta, saya langsung memutuskan untuk tidak akan pernah punya mimpi tinggal di Jakarta.
Sambil berjalan santai menikmati panasnya Jakarta saya dan Dargo berpose di depan patung yang sebenarnya bukan patung wah. Orang-orang memandang kami dengan pandangan penuh keheranan, terserah orang-orang mau berpikiran apa tentang kami, yang penting ceprat-ceoret tetap eksis.
Dari penampilan, kami necis, keren, enggak ndeso atau kampungan, apalagi saya, penampilan saya  membuat orang berpikiran bahwa saya seorang guru atau PNS, ketika itu kami di dalam kereta api, Dargo ditanya oleh seorang penumpang,” temanmu itu guru ya ?”  hehehe…kerenkan ?. saya mengenakan kaos abu berlapis jaket, celana kain berwarna abu gelap, dan sepatu pantoprl hitam, saya kira ini yang membuat orang berpikiran bahwa saya ini adalah seorang guru.
Setelah lama berjalan sambil ceprat-cepret, bus yang kami cari datang dengan sendirinya. Ternyata Allah berbaik hati kepada kami. Bus tidak berhenti, tetapi berjalan dengan kecepatan tidak terlalu tinggi, dengan senang hati kami sedikit berlari dan melompat naik ke  dalam bus. Ya Rab...pemandangan yang asing, selama saya menggunakan bus, baru kali ini menemukan suasana dan pemandangan yang seperti ini. Padat, berantakan, panas, ribut. Ibu-ibu bapak-bapak berjubel, kamipun tidak mendapatkan tempat duduk, dengan terpaksa kam berdiri. Biasanya kami mendengar kata-kata mas, sekarang berubah menjadi abang. Bang-bang...terdengar suara dari dekat saya, setelah menoleh ternya seorang kernet kecil meminta ongkos, saya perkirakan umurnya baru sebelas atau dua belas tahun. Berpakaian kumuh, berkulit hitam berambut pendek bernada tinggi kalau berbicara, membawa lembaran-lembaran rupiah. Ongkospun kuberikan.
Saya membawa satu ransel dan tas pinggang kecil. Ransel, saya minta dargo menaruhnya mepet dengan body bus dan menjepit degnan tubuhnya. Tas pinggang saya tarus di sebelah kiri. “Dek hati-hati barangnya”  terdengan suara seorang ibu memperingati kami. Saya menoleh dan memberikan senyuman simple sebagai tanda meng-iyakan peringatannya.
Tiba-tiba datang seoarang berperawakan tinggi, kurus, rambut keriting, dekil, tampang seram dan prihatin jika melihatnya. Berdiri di belakang saya. Eh...bang, muncul dari mana makhluk seperti anda ?, saya berkata langsung di hadapanya, tetapi ia tidak mendengarkan perkataan saya, karena saya berkata di dalam hati.  Saya pun mulai curiga, bayangan-bayangan itu datang menghampiri saya lagi, saya mencoba menghilangkan bayang-bayang itu dengan mengalihkan pikiran.
Beberapa menit berlalu, saya melihat tas pinggang yang saya bawa dalam keadaaan sedikit terbuka, tetapi saya tetap membiarkannya tanpa menutupnay sedikitpun. Bus tetap melaju, sesekali berhenti untuk menaikan penumpang. Perjalanan saya nikmati walaupun ada sedikit gangguan. Perasaan saya mulai enggak enak sepertinya ada sesuatu yang terjadi, satu persatu saya pandangi dengan pandangan penuh curiga, setelah sekian lama saya mencari dan setelah saya melihat kesekeliling. Ternayata saya menemukan jawaban atas perasaan saya yang enggak enak.
Tas, tas pinggang saya terbuka lebar, ini pasti perbuatan orang yang tadi, tetapi saya berbahagia sekali bahkan sangat-sangat bahagia, pencopet itu berhasil saya tipu. Ketika pencopet itu membuka tas pinggang saya, ia disambut oleh SIKAT GIGI. Seketika itu sayapun tersenyum lebar.  
Segala sesuatu sudah saya siapkan dari sebelum pemberangaktan, pakain uang, dompet dan semua yang saya anggap berharga saya taruh di ransel, sedangkan isi dari tas pinggang adalah peralatan mandi, jadi pencopet itu hanya menemikan sabun, odol dan sikat gigi. Heheh...kasihan dech loe...

0 komentar:

Posting Komentar